BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
sebuah percakapannya dengan Bringuier, Piaget berucap, “Pendidikan, bagi
sebagian besar orang, berarti berusaha membimbing anak untuk menyerupai orang
dewasa, (sebaliknya) bagi saya, pendidikan berarti menghasilkan pencipta,
sekalipun tidak banyak, sekalipun suatu pencipta dibatasi oleh perbandingan
dengan pencipta yang lain.” Ungkapan ini ditulisnya dalam “Twelfth
Conversation” menjadi salah satu frame corak pemikirannya di jalan
konstruktivisme.
Dewasa
ini, konstruktivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang banyak
berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan, tak terkecuali kurikulum 2004
(Kurikulum Berbasis Kompetensi) yang segera diterapkan juga berakar pada konsep
filsafat ini. Dalam
konsep filsafat konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat di-transfer begitu
saja dari seorang guru kepada murid. Pengetahuan yang didapat murid bukanlah
hasil cekokan guru, melainkan bangunan (konstruksi) murid itu sendiri. karena
pengetahuan bukanlah suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang
mempelajarinya. Pendeknya, model pendidikannya, model pendidikannya tidak
bergaya bank (the banking concept of education) salah satu model pendidikan
yang dikemukakan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the oppressed.
Dalam konsepsi
konstruktivis, seorang murid tidak dianggap sebagai sebuah kaset kosong yang
bisa diisi rekaman apa saja sesuai keinginan. Para konstruktivis beranggapan
bahwa seorang anak sudah memiliki “pengetahuan awal” yang kemudian
diasimilasikan dan diakomodasikan dengan
pengetahuan yang didapatnya. Konsepsi mi merupakan antipoda dan gagasan Lock,
Hume dan kaum behavioris yang menganggap bahwa manusia terlahir dalam kondisi
netral dan kosong molompong atau tabula rasa.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam
makalah ini yaitu :
1. Jelaskan Pandangan Para Pakar tentang efektivitas pembelajaran dari
filsafat konstruktivisme.
2. Apa
Hubungan Filsafat Kontruktvisme dalam Psikologi kognitif, Pygotsky, serta Relasi dan Anti-relasi.
3. Bagaimana
Penerapan Kontruktivisme dalam KBK
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pandangan Para
Pakar tentang efektivitas pembelajaran dari filsafat konstruktivisme.
2. Mengetahui
Hubungan Filsafat Kontruktvisme dalam Psikologi kognitif, Pygotsky, serta Relasi dan Anti-relasi.
3. Mengetahui Penerapan Kontruktivisme dalam KBK
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan Para Pakar tentang efektivitas pembelajaran
dari filsafat konstruktivisme.
Paul Suparno dalam Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan, mengemukakan secara ringkas prinsip-prinsip
yang sering diambil dari konstruktivisme, antara lain: Pertama, pengetahuan
dibangun oleh siswa secara aktif. Kedua, tekanan proses belajar terletak pada
siswa. Ketiga, mengajar adalah membantu siswa belajar. Keempat, tekanan dalam
proses belajar lebih pada proses bukan pada akhir. Kelima, kurikulum menekankan
partisipasi siswa dan keenam, guru adalah fasilitator.
Bagi para konstruktivis proses
belajar lebih merujuk pada pengembangan pola pemikiran dengan membuat
pengertian yang baru. Guru konstruktivis tidak akan pernah mengklaim “inilah
satu-satunya yang benar,” karena guru konstruktivis tidak pernah menganggap
dirinya sebagai orang yang maha tahu dan murid dianggap batok copong (istilah
Sunda yang berarti orang bodoh yang bisa dikelabui).
Paul Suparno ketika mengutip
Pernyataan Von Glasersfeld menjelaskan, pada tahun 1710, Vico dalam De
Antiquissirna Italorum Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata,
“Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dan ciptaan”. Dia
menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu”.
Begitulah Giambatissta Vico, seorang epistemolog dan Italia yang telah
menelurkan gagasan konstruktivisme. Baginya pengetahuan lebih menekankan pada
struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar.
Menurut banyak pengamat, bahwa
Vico tidak membuktikan teorinya (Paul Suparno: 2001). Sekian lama gagasannya
tidak dikenal orang dan seakan menghilang. Adalah Jean Piaget (1896- 1980)
seorang psikolog yang mencoba untuk meneruskan estafet gagasan konstruktivisme
terlebih dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih tepat tersebar dan
berkembang melebihi gagasan Vico.
2. Hubungan Filsafat Kontruktvisme dalam Psikologi kognitif, Pygotsky, serta Relasi dan Anti-relasi
a). Psikologi
Kognitif
Apabila kita mempelajari
biografi Piaget, maka bisa digeneralisir bahwa
teori konstruktivismenya muncul dalam pergulatan aliran filsafat pengetahuan rasionalisme, empirisme, dan romantisme abad
17 dan 18. Sudah barang tentu pada Piaget ada kesamaan dengan para filosuf kala
itu. Misalnya Saja antara Piaget dengan
Kant, keduanya menempatkan konsep obyek dalam struktur pemikiran. Tidak hanya
Kan tentunya, teori pengetahuan Paget juga mirip dengan teori Baldwin yang
menjelaskan hubungan genetika dengan pengetahuan. Pygotsky dan Bandura juga ada kemiripan
dengan Piaget. Dalam teori mereka ada kesan bahwa mereka sama dalam melihat
pentingnya segi sosial dalam pembentukan pengetahuan, tetapi berbeda dalam
penekanan dan konseptualisasinya.
Gagasan konstruktivisme Piaget
tertuang dalam teori perkembangan kognitif dan dalam epistimologi genetiknya.
Menurut Piaget, untuk perkembangan kognitif seseorang diperlukan adanya proses
asimilasi dan akomodasi yang seimbang yang disebut equilibrium. Yang dimaksud
asimilasi di sini adalah mengintegrasikan sesuatu yang baru kedalam konsep
gagasan yang sudah dimiliki, sedangkan upaya mengubah konsep yang ada dengan rangsangan
yang dihadapi disebut akomodasi. Bagi Piaget mekanisme ini harus
mengidentifikasi mekanisme yang melahirkan pengetahuan baru.
Berbicara mengenai teori
belajar psikologi kognitif, sebenarnya Piaget bukanlah sebagai orang pertama.
Kalau kita mencoba untuk meruntutnya, maka akan didapat nama Mex Wertheimer
(1880- 1943) sebagai peletak dasar psikologi Gestalt yang meneliti tentang
pengamatan dan problem solving. Mengapa demikian? karena psikologi kognitif
sendiri mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Nama
selanjutnya adalah Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci
tentang hukum-hukum pengamatan. Kemudian dilanjutkan oleh Wolfgang Kohler
(1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpase. Sambungan berikutnya
diikuti oleh Kurt Lewin (1892- 1947) yang mengembangkan teori belajar cognitive
field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial.
Teori perkembangan kognitif
Piaget scud in mulai berkembang antara tahun 1920-1930. Berawal dan
keyakinannya bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dan anak sampai
menjadi dewasa, maka ia melakukan penelitian dalam bidang perkembangan kognitif
anak. Untuk itu ia melakukan penelitian bersama istrinya terhadap ketiga
anaknya yang usianya berbeda. Pada tahun-tahun berikutnya penelitian Piaget
terus dikembangkan dan atas anjuran Einstein pada tahun 1940 Piaget meneliti
pengertian anak tentang waktu, kecepatan dan gerak.
Sedangkan inti dan epistemology Piaget,
sebagaimana yang ditulis Lesli Smith adalah penalaran dengan menggunakan norma
intelektual (suatu bentuk hafalan AIUEO). Penalaran bersifat otonom, yaitu
pemikirannya sendiri Penalaran meliputi kebutuhan (entailment), yakni hubungan
yang diperlukan tentang “apa yang
seharusnya”. Penalaran bersifat intersubjektif
dan sejalan dengan aksioma Ekclidaen yang sama ditambah pada yang tidak
sama-sama dengan tidak sama, yaitu merupakan paradigma “dasar bersama” dan
pelbagai pemikir. Penalaran bersifat objektif, karena di justifikasi sebagai
jawaban yang benar dalam argumen valid (yang mempertahankan kebenaran)
Penalaran memiliki derajat (tingkat) Universalitas, baik yang terbuka ataupun
tidak, yang diubah dalam pelbagai kondisi kausal.
Paul Suparno ketika mengutip
pernyataan Gruber dan Voneche, 0989 dalam Teori Perkembangan Kognitif Jean
Piaget, mengungkapkan bahwa tidak ada pendidikan ala Piaget. Pasalnya Piaget
tidak secara khusus mengarahkan pengertiannya untuk pendidikan dan pengajaran.
Meskipun demikian teorinya jelas berkaitan dan relevan dengan dunia pendidikan.
Tahap-tahap pemikir!iI Piaget sudah sejak lama mempengaruhi bagaimana para
pendidik menyusub kurikulum, memilih metode pengajaran, dan juga memilih bahan
bagi pendidikan anak, terlebih pendidikan di sekolah,
Teori yang digagas oleh Piaget juga banyak
mengundang tanggapan dai berbagai kalangan. Hal ini menandakan bahwa teori yang
diusung Piaget banyak pengaruhnya. Salah satu diantaranya ada yang mengkritik
bahwa teori Piaget terlalu personal karena lebih menekankan keaktifan pribadi
seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuarinya. Memang benar, Piaget tidak
pernah melakukan penelitian secara terperinci dan tersusun mengenai pentingnya
sosialitas dalam pembentukan pengetahuan. Mesldpun demikian, sebenarnya dalam
beberapa tulisanmya, ia tidak melupakan unsur sosial.
b) Konstruktivisme
Pygotsky
Dalam tubuh konstruktivisme,
sebenarnya sudah ada pengklasifikasian tersendiri. Apabila kita mencoba untuk
menelusurinya maka akan didapat dua kelompok besar konstruktivisme sebagai
berikut: Gagasan konstruktivisme psikologis yang lebih personal dimotori oleh
Lev Senyonovich Vygotsky, yang menurutnya bahwa perkembangan pengetahuan
terjadi karena ada interaksi antara pribadi seseorang dengan lingkungan
sekitar. Baginya tidak mungkin seseorang memisahkan unsur-unsur sosio-kultural
dan apa yang diketahui. Alexander Ardivichi dalam salah satu karyanya
menyebutkan bahwa Vygotsky menyebut teorinya bersifat historis-kultural dengan
menekankan bahwa faktor-faktor yang menentukan aktivitas kehidupan individu
dihasilkan oleh perkembangan historis kebudayaan. Dua konsep Vygotsky yang
sangat penting dalam psikologi perkembangan dipelbagai bidang, terutama
pendidikan, yaitu menyebutnya dengan Zone of Proximal Depelopment (ZDP) dan
“Pembicaraan Batin” Inner Speech. Menurut konsep ZPD, perkembangan psikologi
bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada kekuatan batin
c). Relasi dan
Anti-relasi
Bagi Stayer, konstruktivisme
merupakan sintesis pandangan rasionalis dan empiris. Konstruktivisme
menunjukkan interaksi antara subyek dan obyck, antara realitas yang eksternal
dan internal. Walaupun ada sebagian kalangan yang beranggapan bahwa
konstruktivisme cenderung mengarah ke empirisnie dan relativisme. Cenderung ke
empirisme karena semua konsep harus berdasarkan kenyataan luar (seperti yang
digagas oleh Aristoteles, Berkeley, Hunie, Bacon, Iloobes dan lock) dan
cenderung ke relativisme karena menekankan konstruksi atau abstraksi.
Bagi kaum idealis pikiran dan
konstruksinya adalah satu-satunya realitas, sedangkan konstruktivisme menyatakan
bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dekonstruksi oleh pikiran kita.
Berbeda juga dengan objektivisme yang memandang bahwa realitas didapat melalui
langkah yang sistematis menuju kenyataan dunia.
Di lain pihak, konstruktivisme
berbeda juga dengan behaviorisme dan maturasionisme. Bila behaviorisme
menekankan keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih
menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila
maturasionisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai
langkah-langkah perkembangan kedewasaan, konstruktivisme justru lebih
menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif
3.
Penerapan Kontruktivisme dalam KBK
Konstruktivisme
dan KBK
Apabila mengamati konsepnya,
KBK merupakan tangan panjang dan gagasan filsafat construktivisme. Agaknya
wacana pendidikan (baca: kurikulum) di Indonesia Quantum akan disetir ke arah
sana. Walau harapan acap kali tidak sesuai dengan kenyataan, dan konsep yang
sering disalahartikan seperti yang pernah dialami oleh Piaget dengan teori
perkembangan kognitifnya.
KBK dengan landasan konstruktivismenya
diharapkan akan memberikan paradigma baru terhadap sistem pendidikan secara
makro dan pembelajaran secara mikro (seperti Portofolio). Bagi negara
berkembang seperti Indonesia, ketertinggalan dibidang pendidikan harus dikejar
untuk standar internasional. Ibaratnya, kecepatan harus dilipatgandakan (Gas-
pol, Rem-pol) agar mampu mengejar ketertinggalan.
Menjadi negara maju memang menggiurkan. Di
Indonesia keinginan itu sudah ada, tujuan mulia ini jangan sampai hanya menjadi
mimpi indah. Walau bukan satu-satunya jurus yang jitu, dengan kurikulum 2004
ini kita inginkan perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan kita.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dalam tubuh konstruktivisme, sebenarnya sudah ada pengklasifikasian
tersendiri. Apabila kita mencoba untuk menelusurinya maka akan didapat dua
kelompok besar konstruktivisme sebagai berikut: Gagasan konstruktivisme
psikologis yang lebih personal dimotori oleh Lev Senyonovich Vygotsky, yang
menurutnya bahwa perkembangan pengetahuan terjadi karena ada interaksi antara
pribadi seseorang dengan lingkungan sekitar.Alexander Ardivichi dalam salah
satu karyanya menyebutkan bahwa Vygotsky menyebut teorinya bersifat
historis-kultural dengan menekankan bahwa faktor-faktor yang menentukan
aktivitas kehidupan individu dihasilkan oleh perkembangan historis kebudayaan.
2.
Dua konsep Vygotsky yang sangat penting dalam psikologi perkembangan
dipelbagai bidang, terutama pendidikan, yaitu menyebutnya dengan Zone of
Proximal Depelopment (ZDP) dan “Pembicaraan Batin” Inner Speech. Menurut konsep
ZPD, perkembangan psikologi bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada
kekuatan batin
3.
KBK dengan landasan konstruktivismenya diharapkan akan memberikan paradigma
baru terhadap sistem pendidikan secara makro dan pembelajaran secara mikro
(seperti Portofolio). Bagi negara berkembang seperti Indonesia, ketertinggalan
dibidang pendidikan harus dikejar untuk standar internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin Salam Drs. 2004 : ” Pengantar Pedagogik (Dasar – Dasar
Ilmu Mendidik)” Rineka Cipta : Jakarta
Redja Mudjaharjo. 2001 : ” Pengantar Pendidikan”. PT. Radja Grafindo
Persada : Jakarta
Asep Cuwantoro. 2009
: ” Acep Cuwantoro Zone’s Blogspot. Com”. Http//www. Google.co.id